Selasa, 13 Januari 2015

Jazz Mben Senen

Ulang tahun yang ke-5 Jazz Mben Senen


Selama ini banyak yang beranggapan bahwa musik jazz adalah musiknya kaum elite dan mapan, akan tetapi bila kita menengok ke akar jazz boleh dibilang justru jauh bertolak belakang. Tradisi musik jazz berkembang dari gaya hidup masyarakat kulit hitam di Amerika yang tertindas sebagai budak. Proses kelahirannya telah memperlihatkan bahwa musik jazz sangat berhubungan dengan pertahanan hidup dan ekspresi kehidupan manusia. Dalam perjalanannya kemudian, jazz akhirnya menjadi bentuk seni musik, baik dalam komposisi tertentu maupun improvisasi, yang merefleksikan melodi-melodi secara spontan. Musisi jazz biasanya mengekspresikan perasaannya yang tak mudah dijelaskan, karena musik ini harus dirasakan dalam hati. “Kalau kau menanyakannya, kau tak akan pernah tahu” begitu menurut Louis Armstrong, salah seorang legenda musik jazz berkulit hitam. Musik jazz mulai dikenal di Indonesia pertama kali pada sekitar tahun 30-an yang dibawa oleh musisi-musisi dari Filipina yang mencari pekerjaan di Jakarta dengan bermain musik. Bukan hanya mentransfer jazz  saja, mereka juga memperkenalkan instrumen tiup, seperti trumpet, saksofon, kepada penikmat musik Jakarta. Perkembangan musik Jazz di Indonesia menjadi semakin maju dan pesat saat semakin banyak pertunjukan bertajuk musik jazz, seperti kita kenal adanya Java Jazz yang banyak menampilkan musisi jazz baik dalam negeri maupun mancanegara. Berbeda dengan pertunjukan music jazz yang kerap digelar sebuah panggung yang megah, sebuah pertunjukan musik sebagai sarana apresiasi pecinta jazz di Jogja yang rutin diadakan setiap Senin malam sekitar jam 20.00 - 24.00 WIB di halaman parkir Bentara Budaya Yogyakarta tampak berbeda. Semua dapat hadir tanpa dipungut biaya untuk menyaksikan dengan panggung yang sederhana dan dekat dengan penikmat musik jazz seakan musisi dan audiensnya menjadi satu, Selain itu Jazz Mben Senen digunakan sebagai wadah "jam session" seluruh musisi dan lebih dari itu, Jazz Mben Senen membuka diri bagi segala bentuk kesenian untuk berkolaborasi dan berapresiasi, baik dari dalam negeri mapun mancanegara. Sedikit berbeda dari biasanya, pertunjukan Jazz Mben Senen yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 kemarin malam, jumlah musisi yang tampil cukup banyak dan dihidangkannya sajian ice cream sebagai “teman” untuk menikmati musik jazz selain makanan wajib yaitu nasi kucing dan minuman kopi sebagai penghangat, apalagi hujan yang mengguyur kota Jogja sejak sore menambah dinginnya malam itu. Adanya sajian yang cukup istimewa tersebut ternyata untuk memperingati ulang tahun Jazz Mben Senen yang ke-5. Ada banyak band yang hadir memeriahkan Jazz Mben Senen malam itu, antara lain Jiwa, Folkadot, Everyday, Kireina dan banyak lagi. Pementasan Jazz Mben Senen kali ini ditutup dengan penampilan Endank Soekamti, sebuah band yang beraliran punk metal.
Kamis, 08 Januari 2015

Workshop Kepedulian Masyarakat Terhadap Autisme


Workshop Kepedulian Masyarakat Terhadap Autisme


Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Gejala individu autistik yang muncul (salah satu atau kesemuanya) adalah gangguan interaksi kualitatif, gangguan komunikasi yang diatasi dengan kemampuan komunikasi non-verbal, dan perilaku repetitif terbatas dengan pola minat, perilaku dan aktifitas berulang.
Anak autis tidak selayaknya dibiarkan dalam kehidupannya sendiri tanpa kepedulian serius dari lingkungan, baik keluarga maupun masyarakat. Tak hanya itu, orang tua maupun guru atau pendidik serta pendamping anak autis juga perlu mendapatkan kepedulian dari masyarakat agar mereka dapat mendampingi dan membimbing anaknya dengan lebih baik. Hal inilah yang melatarbelakangi Yayasan Edukasi Anak Nusantara (YEAN) menyelenggarakan Workshop Kepedulian Masyarakat terhadap Autisme di Daerah Istimewa Yogyakarta (Selasa, 30/12) di University Club UGM. Dalam sambutannya pada workshop ini, KPH. Wironegoro, MSc sebagai Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara (YEAN) mengapresiasi workshop ini  sebagai langkah awal dalam membuka wawasan dan mengeksplorasi berbagai opini masyarakat terkait autisme. Workshop ini juga bertujuan untuk melakukan pemetaan permasalahan serta mengindentifikasi pihak-pihak yang terkait isu autisme. Outputnya adalah untuk menghimpun berbagai program kampanye peningkatan kepedulian masyarakat terhadap autisme. Dipilihnya Daerah Istimewa Yogyakarta oleh YEAN sebagai titik awal programnya. Selain karena keistimewaannya sebagai pilar kebudayaan, pusat-pusat layanan autis di Yogyakarta juga sudah banyak. “Saya berharap ke depan, DIY memiliki kurikulum keistimewaan yang berfokus pada anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autisme.  Dan Yogyakarta dapat menjadi leading community dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya autisme, ungkapnya. Dengan demikian, masyarakat akan semakin tanggap karena di daerahnya tersedia banyak layanan-layanan autis.
Hal sama juga disampaikan oleh Baskara Aji, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY, “DIY baru saja mencanangkan Deklarasi Pendidikan Inkulis“. Deklarasi ini sebagai bentuk perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di DIY. Hingga saat ini tercatat 26 anak dengan atuisme yang dibina di lembaga pendidikan atau sekolah inklusi maupun SLB dari 2388 anak berkebutuhan khusus yang ada di DIY. Kecilnya angka ini menurutnya dikarenakan oleh berbagai faktor seperti tingkat kepercayaan orang tua terhadap sekolah reguler penyelenggara pendidikan inklusi yang masih kurang. Selain itu, kurangnya tenaga pengajar khusus autis juga menjadi kendala dan tenaga pengajar yang di sekolah reguler yang belum memiliki keberpihakan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK), khususnya autis. Selama ini, pengajar autis diambilkan dari guru SLB. Karenanya Pemprov DIY saat ini tengah melakukan program pembinaan guru-guru reguler untuk dilatih berbagai aspek-aspek bagi anak berkebutuhan khusus seperti autisme.
Acara yang dilaksanakan bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini menghadirkan para narasumber di sesi pertama yaitu Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, Pakar Autisme dari Universitas Gadjah Mada sekaligus Praktisi Klinis di Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Sardjito yang akan mengupas materi pemahaman dasar tentang autisme maupun fakta, mitos dan permasalahan yang berkembang seputar autisme. Selanjutnya, aspek  penangganan dan layanan terhadap anak berkebutuhan khusus disampaikan oleh Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Wakil Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara.  Sebelumnya acara dibuka oleh Kasubdit Kelembagan dan Peserta Didik, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus, Ditjen Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd, yang juga memberikan arahan seputar peran pemerintah terhadap kepedulian pada autisme.

Di sesi kedua, peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan diskusi kelompok FGD (focus group discussion) yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok keluarga dari anak autis di bawah lima tahun, kelompok keluarga dari remaja autis, kelompok wakil institusi yang memberikan pelayanan dan pendidikan khusus bagi anak dan remaja autis serta kelompok masyarakat umum. Diskusi kelompok merupakan media untuk berbagi pengalaman diantara peserta diskusi terkait isu autisme serta bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan yang dihadapi anak autis, keluarga, pendidik maupun masyarakat pada umumnya. Diskusi ini juga dimaksudkan untuk menggali ide atau gagasan bagi program kampanye penduli autis. Setiap kelompok diskusi akan dipandu oleh fasilitator berpengalaman dan memiliki pemahaman berbagai aspek autisme. 

Elga Andriana, salah satu narasumber dalam workshop ini mengutarakan permasalahan orang tua dari anak gangguan autis yang kerap kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendidikan dan sekolah bagi anaknya yang mengalami gangguan autis. “Kami sudah tahu kalau anak kami autis. Namun ketika kami daftarkan anak kami ke sekolah berlabel inklusi, banyak sekolah menolak kami dengan berbagai alasan. Lalu kami masukkan ke SLB, namun SLB juga tidak mau menerima karena anak kami dinilai dapat mengikuti pelajaran di sekolah inklusi. Namun, akhirnya anak saya diterima di SDN inklusi tertentu, yang meskipun ABK-nya sudah banyak, namun masih mau menerima anak saya”, ungkap Elga menirukan keluhan orang tua. Di sini Elga menekankan pada pentingnya pendekatan berbasis nilai-nilai inklusif untuk pengembangan pendidikan dan masyarakat. “Namun yang terpenting adalah melaksanakan nilai-nilai inklusif ke dalam aksi nyata”, tegasnya.
Seperti yang juga diungkapkan Pakar Autisme dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, Msi, hal yang paling penting dalam layanan pendidikan anak dengan autisme adalah memandirikan sesuai dengan batas kemampuan. “Jadi memandirikan harus dimaknai sebagai batas kemampuan anak”, tegasnya. Terkadang orangtua lupa atau terlalu terpaku pada pendidikan secara akademis, padahal yang lebih penting adalah pendidikan kemandirian, karena nantinya anak dengan autisme tidak akan bekerja seperti orang pada umunya. Karena itu, layanan pendidikan harus berfokus pada kompetensi dan kemampuan. Ditambahkan Gamayanti, orangtua memegang peranan penting dalam pendampingan anak dengan autisme. Pendampingan orangtua hendaknya tidak terlalu protektif, misalnya apa-apa dilayani karena menganggap anak tidak kompeten. Orangtua harus tetap memberikan kesempatan anak untuk mencoba dan berusaha dengan kemampuannya sendiri. Di sisi lain, orangtua seyogyanya tidak menyerahkan sepenuhnya terhadap sekolah/lembaga di mana anak belajar. Orangtua harus tetap mengambil peran yang cukup untuk pendampingan anak. Selain orangtua, peran lain bagi anak dengan autisme adalah peran sekolah atau lembaga layanan autis. Gamayanti berharap, sekolah/lembaga idealnya memberikan materi belajar yang bermakna dan bermanfaat bagi masa depan anak. Materi belajar lebih baik berfokus pada keterampilan, tidak hanya mengutamakan akademis semata.
Senin, 05 Januari 2015

SAMPAH VISUAL SEBAGAI PENYAMPAI PESAN


          
SAMPAH VISUAL SEBAGAI PENYAMPAI PESAN                                                      
Dunia periklanan maju dan berkembang sangat pesatnya dewasa ini dan seakan tidak ada satupun  produk yang tanpa menggunakan jasa periklanan. Semua seakan saling berlomba menawarkan produknya. Berbagai media dipakai untuk memperebutkan kue di dunia periklanan. Semua ruang dalam hidup kita dipenuhi oleh iklan dan foto produk yang tanpa kita sadari akan menggiring kita kedalam jerat konsumerisme. Beriklan merupakan cara yang efektif untuk melakukan penetrasi kepada masyarakat, sebagai contoh masyarakat Yogyakarta dalam rangka memasarkan produknya. Dari produk rumah tangga yang paling sederhana hingga produk high tech. Berbagai macam media dipakai, baik cetak maupun audio visual. Semua hadir menyapa sisi visual kita. Sejauh mata kita memandang akan tampak berbagai jenis iklan dan berbagai media yang dipergunakan. Saat kita asyik menikmati tayangan televisi akan disuguhi juga berbagai iklan yang mewarnai program televisi. Ketika kita sedang mendengarkan siaran radio, acara yang kita dengarkan juga tidak terlepas dari iklan radio yang diputar. Begitu banyak baliho dan papan reklame yang terpampang mengisi sudut-sudut jalanan maupun ruang publik di sekitar kita. Papan reklame juga kita temui tertempel dipemandangan sepanjang jalan. Belum lagi saat kita berada di perempatan lampu merah, selebaran kertas yang menawarkan berbagai jasa ataupun promosi suatu produk. Dapat disimpulkan betapa kehidupan kita dari segala sudut tidak pernah lepas dari yang namanya produk visual yang bertransformasi dalam suatu yang kita sebut iklan. Seperti yang ditulis oleh Sumbo Tinarbuko, dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta di Kompasiana.com,” Munculnya sampah visual di ruang publik, ditengarai akibat egoisme parapihak. Pemerintah tidak segera menyusun  masterplan iklan luar ruang. Perda reklame seolah tidak melarang ruang publik, taman kota, trotoar, dinding dan bangunan heritage, tiang listrik, tiang telpon, tiang penerangan jalan, batang pohon menjadi tempat pemasangan iklan luar ruang. Dinas perijinan dan pajak reklame sangat permisif memberi ijin tanpa mau kontrol lokasi pemasangan.” Selain itu ia menambahkan bahwa biro iklan, dan tukang pasang iklan selalu berburu  tempat strategis untuk menancapkan iklan luar ruang agar target marketing komunikasinya terpenuhi. Dalam hal regulasi pemasangan media periklanan, Pemerintah Kota Yogyakarta dinilai kurang serius dalam tata ruang karena pemasangan reklame secara semrawut masih saja terjadi. Bahkan, Walikota Yogyakarta Haryati Suyuti saat dikonfirmasi mengenai protes masyarakat terkait sampah visual enggan memberikan penjelasan dan solusi. Seperti yang ditulis di Bisnis Indonesia.com, orang nomor satu di Pemkot Yogyakarta itu justru melemparkan persoalan ini ke instansi terkait yaitu Dinas Pendapatan Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) yang menangani pajak reklame serta Dinas Ketertiban yang melakukan razia pelanggaran reklame. Sikap yang disampaikan Haryadi itu mengundang kritikan dari Sekretaris Komisi C DPRD Kota Yogyakarta yang menangani masalah tata ruang, Suwarto. Politikus  PDIP itu  menyayangkan sikap Walikota yang terkesan menganggap remeh persoalan sampah visual,“Harusnya walikota turun tangan, kalau pun tidak turun langsung minimal menindak tegas instansi terkait. Ini penting karena menyangkut tata Kota Yogyakarta,” tegasnya. Begitu karut marutnya sikap pemerintah dalam menangani permasalahan sampah visual yang semakin lama membuat lingkungan kotor dan mengesankan seakan tidak ada penataan yang pasti. Selama ini memang belum ada Perda yang mengatur secara jelas, seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta Wahyu Handoyo, ” Dalam rencana tata ruang daerah, pengaturan reklame terkait keindahan tata ruang tak diatur secara khusus, pengaturan khusus mengenai penempatan dan posisi reklame memang ada, namun terkait pendapatan daerah.”  Pada dasarnya memang tidak bersalah atau melanggar hokum melakukan promosi untuk menawarkan suatu produk melalui media visual, baik dalam bentuk baliho maupun pamlet atau selebaran yang terkadang salah sasaran karena hanya menjadi sampah saat orang yang merasa tertarik akan membuangnya di jalan. Atau papan-pan iklan yang tertempel di pohon, itu juga tidak melanggar hokum sejauh tidak membahayakan orang atau pengguna jalan. Tetapi terkadang dikarenakan regulasinya belum jelas, papan promosi itu akan menimbulkan masalah baru yaitu sampah visual yang mengotori pemandangan dan merusak keindahan dan seringkali akan dirusak oleh orang yang merasa itu adalah sebuah sampah, bukanlah suatu bentuk iklan. Seandainya penataan dan penempatannya menarik dan tidak mengotori pemandangan mungkin akan menjadi sebuah bentuk promosi yang menarik dan lebih menyentuh langsung ke calon klien. Beriklan merupakan media paling efektif untuk mengenalkan sebuah produk kepada masyarakat atapun calon klien. Namun seandainya pihak-pihak yang bersentuhan langsung, seperti biro iklan atapun pemerintah yang berwewenang melakukan regulasi membuat langkah yang bijak dalam mengatur penataan dan penempatan media iklan tersebut dengan mempertimbangkan sisi keindahan dan kenyamanan. Seandainya semua dapat berjalan, salah satu bentuk komunikasi massa yang kita kenal yaitu iklan akan memberikan keuntungan bagi pemilik produk atau modal.


Sumber :
Sampah visual ruang publik Yogyakarta oleh Sumbo Tinarbuko, Kompasiana, 13 Februari 2013
Sampah visual: Pemkot Yogyakarta remehkan keluhan masyarakat, Bisnis Indonesia, 26 Februari 2013

Melihat lebih dekat..


Melihat lebih dekat bukan berarti tanpa maksud, pasti ada yang menarik dan perlu untuk diperhatikan lebih dari hanya sekilas ataupun karena iba. Pandangan mata dan hati yang rapuh seringkali menyesatkan langkah dalam menuju sebuah tujuan, kerangka hidup yang dibangun sejak jiwa ini dihembuskan ke dunia. Melihat lebih dekat dan merefleksikan setiap jejak langkah yang tertinggal menjadi sebuah prasasti kehidupan..




Meja makan Gereja Villangkanni, Medan..





Jumat, 03 Oktober 2014

Karimun Jawa


Karimun Jawa adalah nama kepulauan di sebelah utara Pulau Jawa, letaknya kurang lebih 83 km dari Kota Jepara Jawa Tengah dan telah ditetapkan menjadi Taman Nasional sejak tahun 2001. Kepulauan Karimun Jawa memiliki tipe ekosistem beraneka ragam, seperti hutan pantai, mangrove forest, ikan hias dan terumbu karang. Sebutan 'Karimun Jawa The Virginal Tropical Paradise' memang sangat tepat, sebab Karimun Jawa memiliki pulau yang berjumlah 27 buah namun baru 4 saja yang berpenghuni. Karimun Jawa akan memanjakan anda dengan panorama alam khas daerah tropis yang sangat luar biasa.