Kamis, 08 Januari 2015

Workshop Kepedulian Masyarakat Terhadap Autisme


Workshop Kepedulian Masyarakat Terhadap Autisme


Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Gejala individu autistik yang muncul (salah satu atau kesemuanya) adalah gangguan interaksi kualitatif, gangguan komunikasi yang diatasi dengan kemampuan komunikasi non-verbal, dan perilaku repetitif terbatas dengan pola minat, perilaku dan aktifitas berulang.
Anak autis tidak selayaknya dibiarkan dalam kehidupannya sendiri tanpa kepedulian serius dari lingkungan, baik keluarga maupun masyarakat. Tak hanya itu, orang tua maupun guru atau pendidik serta pendamping anak autis juga perlu mendapatkan kepedulian dari masyarakat agar mereka dapat mendampingi dan membimbing anaknya dengan lebih baik. Hal inilah yang melatarbelakangi Yayasan Edukasi Anak Nusantara (YEAN) menyelenggarakan Workshop Kepedulian Masyarakat terhadap Autisme di Daerah Istimewa Yogyakarta (Selasa, 30/12) di University Club UGM. Dalam sambutannya pada workshop ini, KPH. Wironegoro, MSc sebagai Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara (YEAN) mengapresiasi workshop ini  sebagai langkah awal dalam membuka wawasan dan mengeksplorasi berbagai opini masyarakat terkait autisme. Workshop ini juga bertujuan untuk melakukan pemetaan permasalahan serta mengindentifikasi pihak-pihak yang terkait isu autisme. Outputnya adalah untuk menghimpun berbagai program kampanye peningkatan kepedulian masyarakat terhadap autisme. Dipilihnya Daerah Istimewa Yogyakarta oleh YEAN sebagai titik awal programnya. Selain karena keistimewaannya sebagai pilar kebudayaan, pusat-pusat layanan autis di Yogyakarta juga sudah banyak. “Saya berharap ke depan, DIY memiliki kurikulum keistimewaan yang berfokus pada anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autisme.  Dan Yogyakarta dapat menjadi leading community dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya autisme, ungkapnya. Dengan demikian, masyarakat akan semakin tanggap karena di daerahnya tersedia banyak layanan-layanan autis.
Hal sama juga disampaikan oleh Baskara Aji, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY, “DIY baru saja mencanangkan Deklarasi Pendidikan Inkulis“. Deklarasi ini sebagai bentuk perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di DIY. Hingga saat ini tercatat 26 anak dengan atuisme yang dibina di lembaga pendidikan atau sekolah inklusi maupun SLB dari 2388 anak berkebutuhan khusus yang ada di DIY. Kecilnya angka ini menurutnya dikarenakan oleh berbagai faktor seperti tingkat kepercayaan orang tua terhadap sekolah reguler penyelenggara pendidikan inklusi yang masih kurang. Selain itu, kurangnya tenaga pengajar khusus autis juga menjadi kendala dan tenaga pengajar yang di sekolah reguler yang belum memiliki keberpihakan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK), khususnya autis. Selama ini, pengajar autis diambilkan dari guru SLB. Karenanya Pemprov DIY saat ini tengah melakukan program pembinaan guru-guru reguler untuk dilatih berbagai aspek-aspek bagi anak berkebutuhan khusus seperti autisme.
Acara yang dilaksanakan bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini menghadirkan para narasumber di sesi pertama yaitu Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, Pakar Autisme dari Universitas Gadjah Mada sekaligus Praktisi Klinis di Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Sardjito yang akan mengupas materi pemahaman dasar tentang autisme maupun fakta, mitos dan permasalahan yang berkembang seputar autisme. Selanjutnya, aspek  penangganan dan layanan terhadap anak berkebutuhan khusus disampaikan oleh Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Wakil Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara.  Sebelumnya acara dibuka oleh Kasubdit Kelembagan dan Peserta Didik, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus, Ditjen Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd, yang juga memberikan arahan seputar peran pemerintah terhadap kepedulian pada autisme.

Di sesi kedua, peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan diskusi kelompok FGD (focus group discussion) yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok keluarga dari anak autis di bawah lima tahun, kelompok keluarga dari remaja autis, kelompok wakil institusi yang memberikan pelayanan dan pendidikan khusus bagi anak dan remaja autis serta kelompok masyarakat umum. Diskusi kelompok merupakan media untuk berbagi pengalaman diantara peserta diskusi terkait isu autisme serta bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan yang dihadapi anak autis, keluarga, pendidik maupun masyarakat pada umumnya. Diskusi ini juga dimaksudkan untuk menggali ide atau gagasan bagi program kampanye penduli autis. Setiap kelompok diskusi akan dipandu oleh fasilitator berpengalaman dan memiliki pemahaman berbagai aspek autisme. 

Elga Andriana, salah satu narasumber dalam workshop ini mengutarakan permasalahan orang tua dari anak gangguan autis yang kerap kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendidikan dan sekolah bagi anaknya yang mengalami gangguan autis. “Kami sudah tahu kalau anak kami autis. Namun ketika kami daftarkan anak kami ke sekolah berlabel inklusi, banyak sekolah menolak kami dengan berbagai alasan. Lalu kami masukkan ke SLB, namun SLB juga tidak mau menerima karena anak kami dinilai dapat mengikuti pelajaran di sekolah inklusi. Namun, akhirnya anak saya diterima di SDN inklusi tertentu, yang meskipun ABK-nya sudah banyak, namun masih mau menerima anak saya”, ungkap Elga menirukan keluhan orang tua. Di sini Elga menekankan pada pentingnya pendekatan berbasis nilai-nilai inklusif untuk pengembangan pendidikan dan masyarakat. “Namun yang terpenting adalah melaksanakan nilai-nilai inklusif ke dalam aksi nyata”, tegasnya.
Seperti yang juga diungkapkan Pakar Autisme dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, Msi, hal yang paling penting dalam layanan pendidikan anak dengan autisme adalah memandirikan sesuai dengan batas kemampuan. “Jadi memandirikan harus dimaknai sebagai batas kemampuan anak”, tegasnya. Terkadang orangtua lupa atau terlalu terpaku pada pendidikan secara akademis, padahal yang lebih penting adalah pendidikan kemandirian, karena nantinya anak dengan autisme tidak akan bekerja seperti orang pada umunya. Karena itu, layanan pendidikan harus berfokus pada kompetensi dan kemampuan. Ditambahkan Gamayanti, orangtua memegang peranan penting dalam pendampingan anak dengan autisme. Pendampingan orangtua hendaknya tidak terlalu protektif, misalnya apa-apa dilayani karena menganggap anak tidak kompeten. Orangtua harus tetap memberikan kesempatan anak untuk mencoba dan berusaha dengan kemampuannya sendiri. Di sisi lain, orangtua seyogyanya tidak menyerahkan sepenuhnya terhadap sekolah/lembaga di mana anak belajar. Orangtua harus tetap mengambil peran yang cukup untuk pendampingan anak. Selain orangtua, peran lain bagi anak dengan autisme adalah peran sekolah atau lembaga layanan autis. Gamayanti berharap, sekolah/lembaga idealnya memberikan materi belajar yang bermakna dan bermanfaat bagi masa depan anak. Materi belajar lebih baik berfokus pada keterampilan, tidak hanya mengutamakan akademis semata.

0 komentar: