Senin, 05 Januari 2015

SAMPAH VISUAL SEBAGAI PENYAMPAI PESAN


          
SAMPAH VISUAL SEBAGAI PENYAMPAI PESAN                                                      
Dunia periklanan maju dan berkembang sangat pesatnya dewasa ini dan seakan tidak ada satupun  produk yang tanpa menggunakan jasa periklanan. Semua seakan saling berlomba menawarkan produknya. Berbagai media dipakai untuk memperebutkan kue di dunia periklanan. Semua ruang dalam hidup kita dipenuhi oleh iklan dan foto produk yang tanpa kita sadari akan menggiring kita kedalam jerat konsumerisme. Beriklan merupakan cara yang efektif untuk melakukan penetrasi kepada masyarakat, sebagai contoh masyarakat Yogyakarta dalam rangka memasarkan produknya. Dari produk rumah tangga yang paling sederhana hingga produk high tech. Berbagai macam media dipakai, baik cetak maupun audio visual. Semua hadir menyapa sisi visual kita. Sejauh mata kita memandang akan tampak berbagai jenis iklan dan berbagai media yang dipergunakan. Saat kita asyik menikmati tayangan televisi akan disuguhi juga berbagai iklan yang mewarnai program televisi. Ketika kita sedang mendengarkan siaran radio, acara yang kita dengarkan juga tidak terlepas dari iklan radio yang diputar. Begitu banyak baliho dan papan reklame yang terpampang mengisi sudut-sudut jalanan maupun ruang publik di sekitar kita. Papan reklame juga kita temui tertempel dipemandangan sepanjang jalan. Belum lagi saat kita berada di perempatan lampu merah, selebaran kertas yang menawarkan berbagai jasa ataupun promosi suatu produk. Dapat disimpulkan betapa kehidupan kita dari segala sudut tidak pernah lepas dari yang namanya produk visual yang bertransformasi dalam suatu yang kita sebut iklan. Seperti yang ditulis oleh Sumbo Tinarbuko, dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta di Kompasiana.com,” Munculnya sampah visual di ruang publik, ditengarai akibat egoisme parapihak. Pemerintah tidak segera menyusun  masterplan iklan luar ruang. Perda reklame seolah tidak melarang ruang publik, taman kota, trotoar, dinding dan bangunan heritage, tiang listrik, tiang telpon, tiang penerangan jalan, batang pohon menjadi tempat pemasangan iklan luar ruang. Dinas perijinan dan pajak reklame sangat permisif memberi ijin tanpa mau kontrol lokasi pemasangan.” Selain itu ia menambahkan bahwa biro iklan, dan tukang pasang iklan selalu berburu  tempat strategis untuk menancapkan iklan luar ruang agar target marketing komunikasinya terpenuhi. Dalam hal regulasi pemasangan media periklanan, Pemerintah Kota Yogyakarta dinilai kurang serius dalam tata ruang karena pemasangan reklame secara semrawut masih saja terjadi. Bahkan, Walikota Yogyakarta Haryati Suyuti saat dikonfirmasi mengenai protes masyarakat terkait sampah visual enggan memberikan penjelasan dan solusi. Seperti yang ditulis di Bisnis Indonesia.com, orang nomor satu di Pemkot Yogyakarta itu justru melemparkan persoalan ini ke instansi terkait yaitu Dinas Pendapatan Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) yang menangani pajak reklame serta Dinas Ketertiban yang melakukan razia pelanggaran reklame. Sikap yang disampaikan Haryadi itu mengundang kritikan dari Sekretaris Komisi C DPRD Kota Yogyakarta yang menangani masalah tata ruang, Suwarto. Politikus  PDIP itu  menyayangkan sikap Walikota yang terkesan menganggap remeh persoalan sampah visual,“Harusnya walikota turun tangan, kalau pun tidak turun langsung minimal menindak tegas instansi terkait. Ini penting karena menyangkut tata Kota Yogyakarta,” tegasnya. Begitu karut marutnya sikap pemerintah dalam menangani permasalahan sampah visual yang semakin lama membuat lingkungan kotor dan mengesankan seakan tidak ada penataan yang pasti. Selama ini memang belum ada Perda yang mengatur secara jelas, seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta Wahyu Handoyo, ” Dalam rencana tata ruang daerah, pengaturan reklame terkait keindahan tata ruang tak diatur secara khusus, pengaturan khusus mengenai penempatan dan posisi reklame memang ada, namun terkait pendapatan daerah.”  Pada dasarnya memang tidak bersalah atau melanggar hokum melakukan promosi untuk menawarkan suatu produk melalui media visual, baik dalam bentuk baliho maupun pamlet atau selebaran yang terkadang salah sasaran karena hanya menjadi sampah saat orang yang merasa tertarik akan membuangnya di jalan. Atau papan-pan iklan yang tertempel di pohon, itu juga tidak melanggar hokum sejauh tidak membahayakan orang atau pengguna jalan. Tetapi terkadang dikarenakan regulasinya belum jelas, papan promosi itu akan menimbulkan masalah baru yaitu sampah visual yang mengotori pemandangan dan merusak keindahan dan seringkali akan dirusak oleh orang yang merasa itu adalah sebuah sampah, bukanlah suatu bentuk iklan. Seandainya penataan dan penempatannya menarik dan tidak mengotori pemandangan mungkin akan menjadi sebuah bentuk promosi yang menarik dan lebih menyentuh langsung ke calon klien. Beriklan merupakan media paling efektif untuk mengenalkan sebuah produk kepada masyarakat atapun calon klien. Namun seandainya pihak-pihak yang bersentuhan langsung, seperti biro iklan atapun pemerintah yang berwewenang melakukan regulasi membuat langkah yang bijak dalam mengatur penataan dan penempatan media iklan tersebut dengan mempertimbangkan sisi keindahan dan kenyamanan. Seandainya semua dapat berjalan, salah satu bentuk komunikasi massa yang kita kenal yaitu iklan akan memberikan keuntungan bagi pemilik produk atau modal.


Sumber :
Sampah visual ruang publik Yogyakarta oleh Sumbo Tinarbuko, Kompasiana, 13 Februari 2013
Sampah visual: Pemkot Yogyakarta remehkan keluhan masyarakat, Bisnis Indonesia, 26 Februari 2013

0 komentar: